Datang begitu saja
Menyusup direlung hati
Tanpa diminta
~Faris Hazmi Tajul Arifin
17 Februari 2020, adalah awal kisah baru dalam hidupku. Ku gadai seluruh cita demi cintaku pada orangtuaku. Hari ini kuputuskan untuk menerima pinangan seseorang yang bahkan belum pernah ku ketahui asal-usulnya. Tak tahu akan hidup seperti apa nanti. Apakah dia seorang imam yang kuinginkan? Ah aku pasrahkan kepada Sang khalik dzat yang Maha Mengetahui.
Kubaca berulang-ulang sebuah amplop putih itu. Dina Fauziyah, tertera namaku disana. Sebuah amplop berisi diterimanya diriku di sebuah Universitas Kairo Mesir. Hatiku sesak sesaat. Sebuah cita terbesar dalam hidup harus terkubur begitu saja.
"Aku harus ikhlas", ku lafazdkan ini setiap saat untuk bisa membimbing hatiku. Demi Abah yang lagi terbaring sakit. Semoga hadiah ini membuat beliau segera pulih dari sakit.
******
Satu minggu berlalu begitu cepat. Ah andai waktu bisa berjalan lambat atau mungkin bisa berhenti. Biar semua ini tak terjadi. Ah Ngomong apa aku ini. Semua yang sudah diputuskan tak bisa disudahi begitu saja. Pantang bagiku mematahkan hati orangtuaku
Matahari kembali ke peraduan. Jantung seolah berlomba dengan lantunan adzan magrib berkumandang. Ku tutupi semua perasaan kacau ini dengan menyibukkan diri di dapur dengan beberapa sanak saudara yang membantu pelaksanaan ijabku. Sengaja aku meminta untuk mengundang tetangga dan saudara dekat saja. Terlebih abah baru saja pulih dari sakit. Aku tak mau Abah terlalu capek dan sakit lagi.
"Nduk... ayo cepat sholat, baju ijabmu wes umi siapkan di atas meja kamarmu!", kata umi menghampiriku.
"Nggeh mi", jawabku sambil berlalu diantara saudara yang tak lelah menggodaku sejak tadi pagi.
Ku ambil air wudu dan sholat magrib berjamaah dengan saudariku. Aku ingin sholat lebih lama. Jika mungkin. Tapi Aisyah, saudariku itu memaksaku untuk segera bangun untuk bersiap karena sebentar lagi keluarga pihak laki-laki segera datang.
*****
Siapa lelaki yang akan menjadi suamiku? Abah pernah bercerita jika ia salah satu teman di masa kecil. Ku berias sambil berfikir keras. Ku cocokkan wajah semua teman laki-laki di masa kecilku dengan seorang laki-laki yang melamarku kemaren. Mungkin tak banyak yang kuingat. Karena setelah tamat Madrasah Ibtidaiyah, Abah memasukkanku ke pesantren. Sehingga tak banyak yang kutahu cerita mereka setelahnya.
Tak tahu mengapa, aku malah teringat dengan Faris tetangga kami. Dia teman Mas hafidz, kakakku. Mungkin 4 tahun jarak umur kami. Anaknya usil banget. Aku sering enggan keluar kamar jika ku dengar suara teman kakakku itu di rumah. Sepertinya teman kakakku itu suka banget jika aku nangis.
Untuk kesekian kalinya Faris menggoda akan menikahiku padahal saat itu umurku belumlah genap sepuluh tahun. Anak bau kencur ini dengan lantang dan agak sedikit ngasal menjawab, " Calon suamiku nanti haruslah seorang hafidz Qur'an dan lulusan timur tengah. Dan mampu melantunkan surat ar-rahman dengan sangat indah sebagai maharnya".
Aku tersenyum-tersenyum sendiri mengingatnya. Darimana juga ide itu muncul di benak seorang anak yang makanpun masih minta suap uminya.
******
"Tok.. tok.. tok.." terdengar suara pintu kamar diketuk membuyarkan lamunanku.
"Nduk.. sudah siap?", tanya umi dibalik pintu.
"Sudah mi.." kataku sambil keluar dari pintu.
Aku kaget rumah kami sudah sangat ramai dengan saudara dan tetangga yang hadir. Sebagian mereka seperti saling berbisik sambil menatapku dengan senyum. Aku tak tahu apa yang mereka bisikkan. Aku membalasnya dengan mengangguk dan berbalas senyum. Umi mengajakku duduk di tikar dekat ruang tamu. Terdengar suara calon suamiku sedang bercakap santai dengan beberapa saudaraku. Sepertinya mereka sudah akrab. Alhamdulillah jika semua keluarga menerima dengan baik pernikahan ini.
Tiba saatnya prosesi ijab dimulai. Dadaku berdebar tak karuan. Tanganku bergetar dan dingin. Seperti ada tombak menancap didada. Aku pasrah padaMu ya Robb.
Terdengar suara Abi mengucap ijab dengan suara terdengar gemetar, " Ya Faris Hazmi Tajul Arifin bin Mansur Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka Dina Fauziyah binti Sulaiman alal mahri Ar-Rahman wa mushaf Al-Qur'an wa alatil ibadah hallan"
"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi", jawab seseorang yang sekarang sah jadi suamiku dengan lantang.
Air mata seolah tak mau dibendung mengalir begitu saja. Umi menuntunku mendekat dengan suamiku. Mas Arif biasa beliau dipanggil. Aku menunduk dan enggan menatap siapapun. Kemudian abi menyuruh Mas arif membaca surat Ar-Rahman sebagai sebagai persembahan mahar.
"Audzubillah Himinas Syaiton Nirojim..."
Surat Ar-Rahman dibaca Mas arif dengan suara yang berwibawa yang membuat hati siapapun pasti bergetar. Tak hanya aku, beberapa hadirin kulihat meneteskan air mata.
*****
Hari menjelang malam para tamu dan saudara berpamitan. Di ruang tamu tinggal mas hafidz sedang bersenda gurau dengan suamiku. Mereka seolah dekat sekali seperti sudah lama kenal. Sementara abah sudah istirahat di kamar. Ku dengar mbak syifa, istri mas hafidz sedang di dapur. Aku membawa beberapa perlengkapan mahar dari mas Arif ke kamar. Ku letakkan di meja kecil tempat dekat ranjang. Mataku tertuju ke kitab di meja. Kubuka helai demi helai. Ah.. setelah ini aku tak mungkin lagi kembali ke pondok, bagaimana aku bisa pisah dengan teman-temanku. Aku tenggelam dalam lamunan.
"Krek.. ", suara ranjang di dekatku seolah menjerit. Ternyata Mas arif sudah duduk di dekatku.
Aku kaget bukan kepalang, "Mengapa anda disini?", tanyaku refleks. Aku lupa bahwa orang dihadapanku ini suamiku.
Tapi dia seolah mengabaikan kata-kata,"Coba tutup matamu, dek!" Ucapnya.
Anehnya aku nurut saja. Kemudian beliau menyuruhku membuka mata. Lagi-lagi orang satu ini membuatku terkejut. Di tangannya ada seekor kecoa sedang bertengger menatapku. Tak tahu kecoa beneran atau mainan. Ku pukul tangan suamiku itu. Lalu aku berdiri naik ranjang ketakutan.
Sebal, suamiku malah tertawa kegirangan. Lalu dibuangnya benda itu dan menyuruhku duduk berhadapan dengannya. Dipegangnya tangan kananku dan beliau berkata, "Masihkah kau lupa dengan aku dek? Aku teman masmu yang sering menggodamu dulu. Kini aku telah menebus semua janjiku untukmu. Aku telah menjadi hafidz dan sudah berhasil kuliah di Al-azhar Kairo Mesir. Ku dengar kau juga diterima disana. Walau belum lulus sesuai kau minta. Masmu memintaku segera pulang untuk mengkhitbahmu karena abahmu sudah mulai mencari calon untukmu. Tak sia-sia perjuanganku ternyata. Malam ini ku sudah bersama anak manja yang sekarang menjelma menjadi bidadari yang cantik dan sholehah" ucapnya sambil mengelus pipiku.
Aku hanya mematung. Betapa bodohnya aku Mas Arif adalah Fariz teman Mas hafidz. Mengapa sedikitpun aku tak mengenali. Tapi memang beliau terlihat sungguh jauh berbeda dengan yang dulu. Dulu beliau sangat gendut. Sekarang tinggi tegap dan kuakui sekarang terlihat sangat tampan. Mungkin satu yang masih tetap senyum lesung pipitnya tetap menawan.
Rencana Allah sungguh tak disangka. Sungguh lebih indah dari sangkaan umatnya. Rasa syukur yang tak terkira sedikit pengorbananku yang tak seberapa dibanding kasih abah dan umi. Dibalas Allah dengan balasan yang tak terkira. Aku bisa menggapai cita bersama cinta. Seorang imam yang sholeh dan sangat mencintai dan menyayangiku.
Renjana datang belia
Disaat kuncup muda merona
Renjana datang menggoda
Beri kobar setiap jiwa
Zia, bidadari surgaku
Renjanaku pemberi kobar dalam diri
Kini sampai nanti
Kugenggam tangan mungilmu
Berjalan beriringan menggapai ridho Illahi Rabbi
Tertanda Suamimu
mas Arif
Buket mawar putih dengan secarik kertas berisi bait puisi menjadi hadiah terindah Mas arif. Sebagai tanda kepergianku ke Kairo bersamanya. Semoga menjadi awal baik dari kehidupan baruku.
Rencana Allah sungguh tak disangka. Sungguh lebih indah dari sangkaan umatnya. Rasa syukur yang tak terkira sedikit pengorbananku yang tak seberapa dibanding kasih abah dan umi. Dibalas Allah dengan balasan yang tak terkira. Aku bisa menggapai cita bersama cinta. Seorang imam yang sholeh dan sangat mencintai dan menyayangiku.
Renjana datang belia
Disaat kuncup muda merona
Renjana datang menggoda
Beri kobar setiap jiwa
Zia, bidadari surgaku
Renjanaku pemberi kobar dalam diri
Kini sampai nanti
Kugenggam tangan mungilmu
Berjalan beriringan menggapai ridho Illahi Rabbi
Tertanda Suamimu
mas Arif
Buket mawar putih dengan secarik kertas berisi bait puisi menjadi hadiah terindah Mas arif. Sebagai tanda kepergianku ke Kairo bersamanya. Semoga menjadi awal baik dari kehidupan baruku.